Kamis, 01 September 2016

Pembahasan Syafaat dan Problematikanya

BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang Masalah
Semua manusia pasti pernah mengalami kesusahan dan membutuhkan bantuan atau pertolongan orang lain, tentu saja kita meminta pertolongan itu kepada orang yang mampu dan bisa menolong kita. Banyak orang yang mengalami kesusahan, namun mereka lupa akan mengembalikan semuanya itu kepada siapa. Ada juga orang yang ketika mendapat kebahagiaan (nikmat) mereka tidak ingat kepada sang pemilik kebahagiaan tersebut, namun ketika ia kesusahan baru mengingat pemilik kesusahan tersebut dan meminta pertolongan kepada-Nya.
Andaikan kita mau menelusuri seluruh musibah dan fitnah yang menimpa kaum muslimin, akan kita dapati sebabnya ialah kebodohan dalam memahami syariat islam, lebih parah lagi jika kebodohan tersebut pada hal-hal yang sangat penting seperti tauhid dan syirik. Sebab dengan kebodohan, kesyirikan yangbegitu gelap seolah-olah terlihat terang karena hiasan setan. Salah satu perkara penting yang sebagian besar kaum muslimin kurang memahami, ialah masalah syafaat.
“wahai Muhammad, berilah syafaat kepada kami” dan “wahai Muhammad syafaatilah kami”. (samsul, 2003:42). Menurut yusuf (2008) memang Rasulullah SAW akan diberikan izin oleh Allah untuk memberikan syafaat di hari kiamat. Tapi permasalahannya, bolehkah kita meminta langsung kepada beliau ? ini adalah permasalahan yang sangat penting jika seorang salah didalamnya maka ia dapat jatuh kedalam kesyirikan.
Menurut Hassan (1995:29) syafaat adalah pertolongan Allah yang akan di berikan kepada orang yang di ridhainya. Banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah yang menyembah kepada selain Allah yang kemudian menjadi suatu budaya di beberapa kalangan saat ini. Contohnya, kebiasaan meminta-minta terhadap sesembahannya, mereka berziarah kubur, berdoa di makam-makam, bertawasul, meminta syafaat, dengan niat yang menyimpang dari ajaran Islam. Mereka berkeyakinan bahwa apa-apa yang mereka lakukan adalah benar, dan mereka beranggapan permintaan syafaat mereka akan di kabulkan. Padahal sudah jelas disebutkan dalam Al-Quran bahwa syafaat itu hanyalah milik Allah:
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
katakanlah: “hanya kepunyaan Allah-lah syafaat itu semuanya” .(Q.S Az-Zumar: 44).
Menurut Syubhani (2010:172), disamping itu banyak ayat lainnya yang menunjukan bahwa Allah swt telah mengizinkan sekelompok hambanya untuk menggunakan hak ini dalam kondisi-kondisidan persyaratan-persyaratan khusus. Sebagian dari ayat ini menegaskan pelbagai kekhususan serta nama-nama sebagian dari para pemberi syafaat tersebut, seperti dalam firman Allah swt;
                    
Dan betapa banyaknya malaikat di langit yang syafaat (pertolongan) mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sudah Allah mengizinkan bagi siapa yang dikehedaki dan di ridhai-Nya”. (Q.S. An-Najm: 26).
Mereka yang menyembah kepada selain Allah dan meminta syafaat kepadanya, mereka beranggapan bahwa yang mereka sembah itu adalah sebagai perantara untuk mendapatkan syafaat tersebut.
Penulis merasa khawatir kepada generasi-generasi yang akan datang, melihat kondisi orang-orang jahiliyyah dulu, yang biasa mereka lakukan membudaya sampai saat ini, salah satunya dalam bab syafaat, maka dari itu penulis mengankat judul SYAFAAT DAN PROBLEMATIKANYA.
  1. Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Syafaat ?
  2. Apa yang menjadi permasalahan dalam Syafaat?
  3. Apa hubungan Syafaat dengan keimanan ?
  1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan yang akan dikemukakan terbagi kedalam dua kelompok, yaitu tujuan umum dan khusus.


  1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulis membuat karya tulis ini untuk memenuhi sebagian dari syarat kelulusan Muallimin Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango
  1. Tujuan Khusus
Adapun untuk tujuan Khususnya yaitu;
  1. Memahami tentang syafaat
  2. Mengeteahui cara memperoleh syafaat
  3. Memahami hubungan syafaat dengan keimanan
Adapun untuk manfa’at penulisannya penulis membagi kedalam dua bagian yaitu;
  1. Teoritis
Secara teoritis karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat berupa pengetahuan atau wawasan bagi umat manusia agar memahami pengertian dan pengaplikasian tentang syafaat.


  1. Praktis
  1. Bagi Santri
Penulis berharap, karya ilmiah ini menjadi tambahan wawasan bagi para santri, dan mengetahui akan kebenaran syafaat, sehingga para santri tidak salah atau keliru dalam pengaplikasiannya.
  1. Bagi Asatidz
Penulis berharap karya ilmiah ini menjadi suatu pembahasan yang penting untuk dijelaskan kepada santri dengan rinci, supaya santri paham atas pembahasan tersebut dan tidak salah dalam pengaplikasiannya.
  1. Bagi Masyarakat
Penulis berharap karya ilmiah ini bisa mengingatkan kepada masyarakat akan kebenaran syafaat dan khususnya kepada masyarakat awam, supaya tidak salah paham lagi dalam meminta dan memahami syafaat.
  1. Metode dan Teknik Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis akan menggunakan metode penulisan deskriptif, yaitu metode penulisan yang memotret suatu kejadian dengan cara menyimpan data-data atau informasi mengenai kejadian yang sdang terjadi. (Usep, 2011:19).


Adapun teknik penulisan, yaitu teknik studi kepustakaan yaitu “Dengan cara pengumpulan keterangan-keterangan dari berbagai literature sebagai bahan perbandingan dan acuan yang relevan dengan peristiwa yang dikaji. (Usep, 2011:20).
  1. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN, meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode dan Teknik Penulisan, dan Sistematika Pembahasan.
BAB II KAJIAN TENTANG SYAFAAT, meliputi; Definisi Syafaat, Syafaat Menurut Al-Quran dan Hadits
BAB III ANALISIS, meliputi; Pandangan Para Ulama Tentang Syafaat, dan Hubungan Syafaat dengan Iman.
BAB IV PENUTUP, meliputi; Kesimpulan dan Saran-saran.









BAB II
KAJIAN USTAKA


  1. Syafaat
  1. Syafaat Secara Bahasa
لُغَةً : اَلْوَسِيْلَهُ
“Secara bahasa syafaat adalah perantara” (Zakaria, 2008:114).
Menurut At-Thayyur (2010:160) Syafaat diambil dari akar kata as-syafi (genap), yang merupakan antonim dari kata al-witri (ganjil). Artinya menjadikan sesuatu yang ganjil menjadi genap.
Menurut Bashori (1998:145), Syafaat adalah mengumpulkan sesuatu (menggabungkannya) dengan sejenisnya. Syafaat artinya wasilah (perantara) dan thalab (permintaan).
  1. Syafaat Secara Istilah
وَاْلسْتِلَاحًا: سُؤَلُ خَيْرِ لِلْغَيْر
“dan dalam istilah syara ialah meminta kebaikan untuk yang lain”          (Zakaria, 2008:114)
Menurut At-Thayyur (2010:160) Syafaat ialah, menjadi perantara untuk orang lain dalam mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Artinya orang yang memberikan syafaat berposisi sebagai perantara antara pihak yang diminta pertolongan dengan pihak yang ditolong untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat pada orang yang di tolong.
Menurut Bashori (1998:145), Syafaat ialah, meminta kebaikan untuk orang lain. Dengan kata lain berpihak atau bergabung kepada orang lain sebagai penolongnya dan sebagai orang yang meminta (kebaikan) untuknya. Sedangkan yang lebih banyak dipergunakan dalam hal ini adalah bergabungnya orang yang lebih tinggi derajat dan martabatnya kepada orang yang lebih rendah. Bashari juga menyatakan bahwa syafaat adalah Do’a seseorang untuk saudaranya dan permohonan kepada Allah agar menuntun saudaranya kepada kebenaran, atau agar menolak darinya segala marabahaya atau agar mengampuni segala dosanya, baik itu dilakukan didunia dari orang yang meninggal maupun hari kiamat nanti.
Syafaat yang benar ialah syafaat yang di tetapkan oleh Allah didalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh rasul-Nya. Syafaat ini hanya dapat bemanfaat bagi orang yang tergolong sebagai ahli tauhid dan ikhlas, karena Abu Hurairah r.a, pernah berkata “wahai rasulullah siapa orang yang paling beruntung dapat memperoleh syafaat mu ? Rasulullah saw menjawab “ialah orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan hati yang ikhlah” (H.R. Bukhari).
Syafaat ini harus memenuhi tiga persyaratan:
  1. Orang yang memberi syafaat di ridhai oleh Allah
  2. Orang yang diberi syafaat (diberi pertolongan) di ridhai oleh Allah
  3. Allah memberi izin kepada orang yang bersangkutan untuk memberikan syafaat
(At-Thayyur, 2010:158)
Menurut Karimi (2012:716) syafaat terbagi menjadi dua, yaitu bathil dan shahih. Yang pertama, syafaat yang di harapkan orang-orang musyrik dari berhala-berhala mereka, dimana mereka menyembahnya dan mengklaim bahwa berhala-berhala tersebut adalah pemberi syafaat di sisi Allah, sebagaimana firman Allah;
             
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata:”mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. (Q.S Yunus:18).
Dan mereka juga berkata;
      
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendatangkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.(Q.S Az-Zumar:3).
Akan tetapi syafaat ini adalah bathil dan tidak berguna, sebagaimana firman Allah SWT:
      
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.”.(Q.S Al-Mudatsir:48).


Adapun Syafaat yang kedua, adalah syafaat yang shohih, yang mana syafaat ini harus memenuhi tiga syarat, yaitu;
  1. Orang yang memberi syafaat di ridhai oleh Allah.
  2. Orang yang diberi Syafaat (diberi pertolongan) di ridhai oleh Allah.
  3. Allah member izin kepada orang yang bersangkutan untuk memberikan syafaat.
Jika ada orang membayangkan bahwa perbuatan seperti ini (yakni meminta syafaat kepada wali-wali Allah) secara lahiriah menyerupai perbuatan kaum musyrikin serta syafaat yang mereka minta berhala-behala sesembahan mereka, maka yang demikian itu adalah gambaran yang bathil dan jauh dari kebenaran. Adanya kemiripan lahiriah tidak mungkin sekali-kali menjadi tolok ukur suatu penilaian, tetapi tolok ukur sebenarnya ialah niat si peminta serta cara ia ber-I’tiqad tentang hak yang dimiliki oleh orang yang bersyafaat. Jelas sekali bahwa tolok ukurnya ialah niat yang tersembunyi dalam lubuk hati, bukan bentuk-bentuk lahiriah. Di samping itu terdapat banyak perbedaan antara kedua perbuatan tersebut, antara lain;
  1. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa I’tiqad seorang muwahid (yang mengesakan Allah) tentang wali-wali Allah berbeda sepenuhnya dengan I’tiqad seorang musyrik tentang berhala-berhala. Patung-patung berhala itu dalam pandangan kaum musyrikin adalah “tuhan-tuhan kecil” yang memiliki sebagian dari kedudukan ilahi dalam hal syafaat dan magfirah (ampunan). Tidak demikian keadaan orang-orang yang mengesakan Allah. Mereka itu ber-I’tiqad bahawa orang-orang yang dimintai syafaat adalah hamba-hamba Allah yang tidak pernah membangkang terhadap-Nya, bahkan  meraka selalu melaksankan segala perintah-Nya, dan bahwa mereka tidak memiliki “hak syafaat” walaupun hanya sedikit, oleh sebab itu mereka tidak bersyafaat kecuali jika Allah mengizinkan mereka untuk bersyafaat bagi siapa yang diridhai oleh-Nya.
Secara ringkas, terwujudnya  syafaat dari mereka memerlukan dua hal, yakni orang yang memberi syafaat harus memperoleh izin untuk bersyafaat, dan orang yang disyafaatkan baginya haruslah orang yang diridhai Allah. Maka seandainya orang muslim berkata kapada salah seorang dari kalangan shalihin: ‘bersyafaat lah kepada Allah untuku’ , ia tidak akan melakukannya kecuali dengan pengertian bahawa yang demikian itu memenuhi dua persyaratan tadi.
  1. Kaum musyrikin memuja (beribadah kepada) berhala-berhala, disamping meminta syafaat dari mereka sedemikian rupa, sehingga beranggapan bahwa dikabulkannya do’a mereka serta diterimanya permintaan syafaat mereka adalah sebagai imbalan bagi pemujaan (ibadah) yang mereka tujukan kepada berhala-berhala itu. Tidak demikian halnya dengan ahli tauhid yang tidak pernah sekejapun beribadah kepada selain Allah SWT. Permintaan syafaat kaum ahli tauhid kepada orang-orang yang dimintai syafaat tidak mengandung arti lebih dari pemanfaatan “kedudukan mulia” (maqam Mahmud) yang diberikan Allah kepada nabi-Nya. Karena itu, menganalogikan permintaan syafaat yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan yang dilakukan oleh kaum musyrikin tidak lain hanya manipulasi semata–mata. Telah disebutkan beberapa kali bahwa seandainya masalahnya ialah adanya kemiripan lahiriah (dalam kedua bentuk permintaan syafaat), niscaya wajib atas kita menganggap bahwa thowaf sekeliling ka’bah al-Musyarrafah, mencium atau menyentuh hajar aswad dan sa’I (berjalan mondar-mandir) antara bukit shafa dan Marwa, juga mengakibatkan syirik dan dianggap sebagai ibadah yang ditujukan kepada batu-batu.
Kaum wahabi berpendapat, permintaan syafaat yang bagaimanapun sebagai syirik dan ibadah. Merka mengira bahwa Al-Quran tidak mencap para penyembah berhala sebagai kaum musyrikin melainkan karena mereka meminta syafaat dari berhala-berhala mereka, seperti dalam firman Allah: “Mereka menyembah, selain Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘mereka itu pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’.”
Atas dasar ini, kata mereka, tidak dibolehkan meminta syafaat walaupun dari orang-orang yang memang diberi hak atau izin untuk bersyafaat. Meminta syafaat dari orang-orang ini, kata mereka selanjutnya, adalah ibadah kepada mereka. Dalam hal ini Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri aliran Wahabi) mengatakan: “seandainya ada orang berkata, ‘ Para shalihin memang tidak memiliki sesuatu dari urusan ini, namun saya mendatangi mereka karena mengharap dari Allah agar memberi syafaat kepada mereka’. Maka jawabannya ialah, ‘ Persis seperti inilah ucapan  orang-orang kafir. Bacakanlah untuk mereka firman Allah: “....orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.”  (Q.S Az-Zumar:3) Dan juga firman Allah: “Mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘sembahan-sembahan itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah ‘.”  (Q.S Yunus:18).
Selanjutnya , kata Muhammad bin Abdul Wahab  jika ada orang berkata, ‘Nabi SAW telah diberi syafaat kepadanya, karena itu saya memintanya dari beliau yang telah memperolehnya dari Allah’. Maka jawabannya ialah bahwa Allah memang telah memberinya, tapi Ia pun telah melarang Anda meminta hal itu darinya, seperti dalam firman-Nya: “Maka janganlah kamu menyeru sesorang pun didalam masjid-masjid itu, selain Allah” (Q.S 72:18). Selain itu, syafaat tidak hanya diberikan kepada Nabi saja. Telah diberitakan secara shahih bahwa para malaikat dan para wali pun bersyafaat.  Adakah anda akan berkata, ‘ Allah telah memberi mereka hak syafaat, karena itu akan memintanya dari mereka ?’ jika demikian, Anda telah mengikuti jejak orang-orang yang menunjukan ibadah kepada para shalihin, sebagaimana disebutkan pleh Allah SWT dalam kitab-Nya ( Kasyfu Syubhat, hal 7, cetakan kuno)
Demikian  ucapan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Untuk menguatkan pendapatnya itu, ia mengambil dalil dari tiga ayat, yakni:
  1. Firman Allah
Mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada merka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” .(Yunus:18).
Ia menyatakan,berdasarkan ayat ini, bahwa ibadah kepada berhala-berhala oleh kaum musyrikin terwujud dengan permintaan syafaat kepada berhala-berhala itu, bukan dengan suatu lainnya.
  1. Firman Allah ta’ala:
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.”  (Q.S Az-Zumar:3).
Berdasarkan ayat ini ia menyatakan bahwa ibadah kepada berhala-berhala oleh kaum musyrikin telah terwujud dengan adanya permintaan syafaat kepada berhala-berhala itu untuk mereka.
  1. Firman Allah SWT:
“Maka janganlah kamu menyeru siapapun selai Allah.” (Q.S 72:18)
Menurut Bashori (1998:148), Syafaat ada delapan macam, yaitu;
  1. Syafaat Agung (Syafaat Uzhma), yaitu khusus milik Nabi Muhammad SAW, yakni yang disebut “Maqam Mahmud” yang dijanjikan Allah SWT dengan firmannya:
“…..Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang ter-puji.” .(Q.S Al-Isra:79).
Yaitu ketika suasana Mahsyar telah menjadi dahsyat. Mereka mencari syafaat agar mereka segera diberikan keputusan. Maka mereka mendatangi Adam as, kemudian Nuh as, kemudian Ibrahim as, kemudian Isa bin Maryam as, yang kesemuanya mengatakan, “nafsi-nafsi”. Sehingga berakhir kepada Nabi kita Muhammad SAW dan beliau berkata, “Ana laha (Aku akan melakukanya)”.
  1. Syafaat untuk penduduk surga agar dapat memasukinya. Sebagaiman riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik r.a Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أَنَاأَوَّلَ النَّاسِ يَشْفَعُ فِى اْلجَنَّةِ وَأنَا أكْثَرَالْاَنْبِيَاءِتَبَعاً
”Aku adalah orang pertama yang memberi syafaat untuk masuk surga dan aku adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya.” (H.R Muslim).


  1. Syafaat  untuk orang-orang yang jumlah kebaikannya sama dengan dosanya supaya bisa masuk surga.
  2. Syafaat untuk mengangkat derajat ahli Surga di atas yang semestinya.
  3. Syafaat untuk orang-orang yang sudah diputuskan masuk Neraka supaya tidak jadi masuk neraka.
  4. Syafaat untuk orang-orang agar bisa masuk Surga tanpa hisab. Diantara dalilnya ialah sabda Rasulullah SAW kepada Ukasyah bin Mishan ketika meminta dari beliau agar memohon kepada Allah supaya ia dijadikan termasuk golongan 70.000 orang yang akan masuk Surga tanpa hisab.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ مِنْهُمْ
“Ya Allah, jadikanlah ia termasuk diantara mereka.” (H.R Bukhari).
Allah berfirman kepada Nabi Muhammad SAW dalam hadits Syafaat:
أُدْخِلِ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِكَ مَنْ لا‌َحِسَابَ عَلَيْهِ مِنَ الْبَابِ الْأَيْمَنِ مِنْ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ
“Masukanlah dari umatmu orang-orang yang tidak di hisab dari pintu kanan dari pintu-pintu surga.” (H.R Muslim).


Dan ini terjadi sesudah syafaat.


  1. Syafaat untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang berdosa besar yang telah masuk Neraka agar dikeluarkan dari Neraka. Sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits yang mencapai derajat mutawatir. Syafaat ini umum; berkali–kali dilakukan oleh Rasulullah SAW, juga malaikat dan para nabi serta orang-orang mukmin akan memberi syafaatnya, sebagaiman dijelaskan oleh hadits-hadits syafaat.
  2. Syafaat Rasul SAW untuk meringankan siksa pamannya Abu thalib berdasarkan riwayat Al-Bukhari dan Mslim dengan sanadnya dari Abu Said Al-Khudri r.a, bahwasannya Rasulullah SAW ketika disebut pamannya, Abu Thalib dihadapannya maka beliau bersabda:
لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُجْعَلُ فِى ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ يَغْلِيْ مِنْهُ دِمَاغُهُ
“Mudah-mudahan syafaatku akan menolongnya pada hari kiamat, emudian ia ditempatkan di Dhahdhah (genangan air yang dangkal yang membasahi sampai mata kaki) dari Neraka yang membuat otakn ya mendidih,” (H.R Bukhari).


Syafaat beliau tidak bisa membuatnya keluar dari apa Neraka, karena dia meninggal dalam keadaan musyrik, berbeda dengan muwahhid (orang-orang bertauhid).
Menurut Zakaria (2008:122) syafaat yang di khususkan bagi Nabi SAW ada 5 macam, diantaranya ;
اَلشَّفَاعَتُةُ الْعُظْمَى قَبْلَ الْحِسَابِ بَعْدَ الْستِغَاثَةِالنَّاسِ وَتَخَلَّى الْاَنْبِيَاءِ.
“ syafaat yang besar sebelum hisab setelah manusia meminta pertolongan sedang   para Nabi yang lainnya  berlepas diri”.
شَفَاعَةُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى أَقْوَامِ تَسَاوَتْ حَسَنَا تُهُمْ وسَيِّئَاتِهِمْ لِيَدْخُلُوْاالْجَنَّةَ.
“syafaat Nabi SAW bagi kaum yang sama timbangan kebaikan dan kejelekannya supaya mereka masuk surga”.
شَفَاعَتُهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى رَفْعِ دَرَجَاتِ مَنْ يَدْخُلُ اْلَجَنَّةَ فِيَهَا فَوْقَ مَا كَانَ يَقْتَضِيْهِ ثَوَابُ أَعْمَا لِهِمْ.
“Syafaat Nabi SAW dalam mengangkat derajat orang yang masuk surga melebihi pahala amal perbuatannya”


الشَّفَاعَةُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى أَقْوَامِ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Syafaat Nabi SAW bagi kaum yang masuk surga tanpa hisab”
شَفَاعَتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى تَخْصِيْفِ الْعَذَابِ عَمَّنْ يَسْتَحِقُّهُ, مِثَالُ, عَمِّ النَّبِىِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَبِى طَا لِبٍ
“Syafaat Nabi SAW untuk meringankan siksa adzab terhadap orang yang berhak mendapatkannya, seperti paman Nabi SAW, Abu Thalib.”
Qurthubi mengatakan syafaat yang dikhususkan bagi Nabi Muhammad SAW adalah yang dimaksud dalam sabda Nabi SAW: “Setiap Nabi mempunyai doa mustajab. Kemudian setiap Nabi menyegerakan doanya dan aku menyimpan doaku berupa syafaat bagi umatku”. (H.R Bukhari Muslim).
Al-Hamid (1997:179) berpendapat, bahwa syafaat itu ada enam, diantaranya;
  1. Syafaat umum
  2. Memasukan sejumlah orang kedalam surga tanpa hisab
  3. Syafaat bagi segolongan umatnya yang sudah diputuskan masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Kemudian Nabi SAW memohonkan syafaat bagi mereka dan orang yang di inginkanakanya, sehingga merekapun masuk surga.
Syafaat inilah yang sering di ingkari oleh para ahli Bid’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka menolaknya berdasarkan prinsip mereka yang fasid yaitu, keputusan akal yang didasarkan atas penilaian baik dan buruk.
  1. Syafaat bagi orang-orang berdosa yang masuk neraka. Mereka di keluarkan dengan syafaat Nabi, para nabi lainnya, para malaikat dan saudara-saudara mereka orang mukmin.
  2. Syafaat yang berkenaan dengan peningkatan penambahan derajat di surga. Syafaat ini tidak di ingkari oleh kaum Mu’tazilah.
  3. Syafaat bagi Abu Thalib untuk meringankannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said Al-Khudri r.a bahwa ada orang menyebut Abu thalib didekatnya. Kemudian Nabi SAW berkata “Mudah-mudahan Syafaatku bermanfaat baginya di hari kiamat, hingga ia hanya terkena sedikit api yang mencapai kedua tumitnya dan membuat otaknya mendidih“.
  1. Syafaat Menurut Al-Quran dan Al-Hadits
  1. Menurut Al-Quran
    1. Pemilik Syafaat
“Hanya kepunyaan Allah Syafaat itu semuannya”
(Az-Zumar : 44).
Dalam Quratul ‘Uyun disebutkan; Ayat ini menunjukan bahwa syafaat itu adalh milik Allah SWT, karena syafaat itu tidak akan berlaku kecuali bagi ahli tauhid dengan seizin Allah SWT sebagaimana firmannya dalam ayat yang lain. Allah juga telah berfirman; “Mengatur segala urusan, tiada seorangpun yang akan member syafaat kecuali sesudah ada keizinan-Nya”. (Q.S Yunus:3). Maka tidak ada syafaat kecuali bagi yang menjadikan syafaat itu hanya milik Allah SWT, dan syafaat itu tidak akan berlaku kecuali dari yang diizinkan oleh-Nya untuk member Syafaat.  (Abdurrahman, 2002:408).
    1. Pemberi Syafaat harus dengan izin Allah
 


“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya”. (Q.S Al-baqoroh : 255)
Telah dsebutkan dalam penjelasan ayat-ayat yang terdahulu, bahwa syafaat yang tidak diakui Al-quran adalah Syafaat yang diminta dari selain Allah. Ayat ini menjelaskan bahwa syafaat ini akan terjadi di akhirat dengan seizing Allah, Sebagaimana firmannya; “Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah maha pemurah telah memberi izin kepadanya dan dia telah meridhai perkataannya”.  (Q.S Thaha:109)
Allah menjelaskan bahwa syafaat itu tidak akan terjadi pada seseorang kecuali dengan dua syarat: Izin Rabb Ta’ala bagi pemberi syafaat untuk memberi syafaat padanya. Dan Allah Ta’ala tidak akan ridha terhadap perkataan dan opebuatan, baik yang lahir maupun yang batin, kecuali yang menginginkan eridhoannya dan snag hamba mnghadap Allah dengan Ikhlas tanpa keraguan. (Abdurrahman, 2002:410)
Allah SWT berfirman,
                                                      
“Katakanlah: " serulahmereka yang kamu anggap (sebagaiTuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, danmereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.Dan Tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan olehTuhan-mu?" merekamenjawab: (perkataan) yang benar", dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagiMaha Besar.” (Saba : 22-23).
Ayat ini menerangkan bahwa pemberian syafa'at hanya dapat Berlaku dengan izin tuhan. Orang-orang yang akan diberi izin memberi syafa'at dan orang-orang yang akan mendapat syafa'at merasa takut dan harap-harap cemas atas izin tuhan. tatkala takut dihilangkan dari hati mereka, orang-orang yang akan mendapat syafa'at bertanya kepada orang-orang yang diberi Syafa'at: apa yang dikatakan oleh Tuhanmu?. Mereka menjawab: Perkataan yang benar, Yaitu Tuhan mengizinkan memberi syafa'at kepada orang-orang yang disukai-NyaYaitu orang-orang mukmin.


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat-ayat ini, “ Allah ta’ala telah memangas sebab-sebab yang dijadikan pegangan oleh orang-orang musyrikin seluruhnya. Orang musyrik menyembah sesembahannya karena manfaat yang diaperoleh, padahal manfaat tidak terwujud kecuali dari siapa yang memiliki satu dari empat perkara ini; dia memiliki apa yang diinginkan oleh penyembahnya darinya, jika dia tidak memiliki, maka dia adalah sekutu bagi pemilik, jika dia bukan sekutu maka dia adalah pembantu atau penolongnya, jika bukan pembantu, bukan pula penolong, maka dia adalah pemberi syafaat disisinya.
Allah ta’ala menafikan empat fase ini dengan penafian yang berurutan, berpindah dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Allah ta’ala menafikan kepemiliurkan, perserikatan, pertolongan, dan syafaat yang dicari oleh orang-orang musyrik dan menetapkan sebuah syafaat dimana orang musyrik tidak memiliki bagian apapun darinya, yaitu syafaat dengan izin-Nya. Cukuplah ayat ini sebagai cahaya, bukti dan pemurnian tauhid serta pemberantasan terhadap akar-akar syirik dan sumber-sumber bagi orang yang memahaminya. Al-Quran sarat dengan kandungan yang semisal dan semakna dengannya, hanya saja kebanyakan manusia tidak menyadari masuknya kenyataan yang sebenarnya dibawah praktik (yang mereka lakukan itu) dan cakupannya terhadapnya. Mereka mengira bahwa ia hanya ada pada satu bentuk dan satu kaum yang telah berlalu sebelumnya tanpa meninggalkan penerus. Inilah yang menghalangi hati untuk memahami Al-Quran. Demi Allah, sekalipun mereka telah berlalu (punah), namun setela hmereka, hadir para pewaris yang sama atau bahkan lebih buruk atau lebih rendah dari mereka. Dan Al-quran meliputi orang-orang tersebut, sebagaimana mencakup mereka dulu.”
Kemudian beliau berkata, “Diantara bentuk syirik adalah meminta hajat-hajat kepada orang-orang mati dan beristigatsah kepada mereka. Ini adalah asal usul syirik manusia. Amal perbuatan orang mati telah terputus, dia tidak memiliki manfaat dan mudharat untuk dirinya, apalagi untuk orang-orang yang beristighatsah kepadanya dan memintanya agar memberikan syafaat disisi Allah. Ini termasuk kejahilan tentang pemberi syafaat dan kepada siapa syafaat itu disodorkan. Pemberi syafaat tidak kuasa memberi syafaat untuknya disisi Allah kecuali dengan izin-Nya dan Allah sendiri tidak menjadikan istighatsah dan permintaannya sebagai sebab diperolehnya izin, akan tetapi sebab yang shahih adalah tauhid yang sempurna. Lalu orang-orang musyrik ini hadir membawa suatu sebab yang justru menutup turunnya izin, iaseperti orang yang meminta tolong untuk memenuhi hajatnya dengan sesuatu yang justru menghalanginya untuk terwujud.
Ini adalah keadaan semua orang-orang musyrik. Mereka menggabungkan syirik kepada yang disembah, merubah agama-Nya, memusuhi ahli tauhid, menisbatkan ahli tauhid kepada pelecehan terhadap orang-orang mati, padahal mereka sendiri telah melecehkan sang pencipta dengan syirik yang mereka lakukan, melecehkan ahli tauhid dengan celaan, hinaan dan permusuhan mereka. Mereka juga melecehkan orang-orang yang mereka jadikan sekutu bagi orang-orang itu rela terhadap apa yang mereka kerjakan, bahwa orang-orang itu memerintahkan mereka dengan yang demikian, bahwa orang-orang itu loyal kepada mereka atas dasar itu.
Padahal orang-orang musyrik itu adalah musuh para rasul di setiap zaman dan setiap tempat. Betapa banyak orang yang menjawab seruan mereka, tidak ada yang selamat dari jerat syirik akbar ini, kecuali orang yang memurnikan tauhidnya hanya untuk Allah, memusuhi orang-orang musyrik karena Allah, mendekatkan diri kepada Allah dengan membenci mereka, menjadikan Allah semata sebagai walinya, Tuhannya, Sesembahnnya, dia memurnikan cintanya karena Allah, takutnya karena Allah, harapannya hanya pada Allah, ketundukannya karena Allah, tawekalnya kepada Allah, permohonan bantuan hanya kepada Allah, permohonan perlindungan hanya kepada Allah, beristigatsah hanya kepada Allah, tujuannya adalah Allah semata, mengikuti perintah-Nya , mencari ridha-Nya, jika dia meminta maka meminta kepada Allah, jika dia meohon bantuan, maka dia memohonnya kepada Allah, jika dia beramal maka dia beramal karena Allah. Dia berbuat karena Allah, dengan (nama) Allah, dan bersama (pertolongaan) Allah.”Demikian ucapannya rahimahullah.


Apa yang dikatakan oleh imam ini tentang makna ayat adalah hakikat agama Islam, sebagaiman Allah ta’alaberfirman,
                
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan ia mengakui agama Ibrahim menjadi kesayanganNya.”(An-Nisa:125).


قال، أبوالعباس: نفى الله عما سواه كل ما يتعلق به المشركون، فنفى ان يكون لغيره ملك او قسط منه، أويكون عونالله، فلم يبق إلاالشفاعة. فبين أنها لاتنفع إلالمن أذن له الرب، كما قال تعالى: (ولايشفعون إلا لمنارتضى)، فهذه اشفاعة التي يظنهاالمشركون هي منتفية يوم القيامة كمانفاهاالققران واخبرالنبي صلى الله عليه وسلم أنه يأتي فيسجد لربه ويحمده، لايبدأ بالشفاعةأولا، ثم يقال له: ارفع رأسك وقل تسمع. وسل تعط، واشفع تشفع
Abu al-Abas berkata, “Allah meniadakan dari selain-Nya segala perkara yang menjadi tempat bergantung orang-orang musyrik. Allah menyatakan bahwa tidak seorang pun selain-Nya yang memiliki kekuasaan, atau menjadi penolong bagi Allah. Yang tersisa hanyalah syafaat, maka ia menjelaskan bahwa ia tidak berguna kecuali bagi orang yang telah di izinkan oleh Allah untuk mendapatkannya, sebagaimana dia berfirman, ‘Dan tidaklah mereka dapat memberi syafaat kecuali bagi orang-orang yang telah Allah ridahai.’ (Al-Anbiya:28). Syafaat yang disangka oleh orang-orang musyrik inilah yang tidak akan pernah ada pada hari kiamat, sebagaiman al-quran telah menafikannya. Nabi SAW telah mengabarkan bahwa beliau hadir lalu bersujud kepada Rabbnya dan memuji-Nya, dan beliau tidak serta merta bisa memberi syafaat, kemudian dikatakan, “Angkatlah kepalamu, katakanlah niscaya didengarkan, mintalah niscaya kamu di perkenankan, dan berilah syafaat, niscaya kamu diizinkan.”
وقال أبو هريرة: من أسعد الناس بشفاعتك؟ قال: من قال لاإله إلاالله خالصا من قلبه فتلك الشفاعة لاهل الاخلاص بإذنالله, ولا تكون لمن اشرك بالله.
Abu hurairah pernah berkata (kepada Nabi SAW), “Siapa yang paling berbahagia mendapatkan syafaatmu? ”Beliau menjawab, “Orang yang mengucapkan La ilaha illa allah dengan ikhlas dari dalam hatinya.”Syafaat tersebut hanya untuk ahli tauhid dengan izin Allah, ia bukan untuk orang-orang yang menyekutukan Allah.
وحقيقته: أن الله سبحانه هوالذي يتفظل على اهل الاخلاص, فيغفر لهم بواسطة دعاء من أذن له ان يشع, ليكرمه وينال المقام الحمود.
Hakikatnya adalah, bahwa Allah SWT  melimpahkan karuniaNya kepada orang yang ikhlas (ahli tauhid), dimana mengampuni mereka melalui perantara doa yang dia izinkan untuk memberi syafaat, yang mana dia hendak memuliakan orang tersebutdan agar mendapatkan al-Maqam al-Mahmud (kedudukan terpuji).
فَالشَّفَاعَةُالَّتِيْ نَفَاهَاالْقُرْاَنُ مَا كَانَ فِيْهَا شِرْكٌ. وَلِهَذَا أَثْبَتَ الشَّفَاعَةُ بِإِذْنِهِ فِيْ مَوْضِعَ. وَقَدْ بَيَّنَ النًّبِيُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَنَّهَا لَاتَكُوْنُ إِلَّا لِأَهْلِ التَّوْحِيْدِوَالْاِخْلَاصِ.


Maka syafaat yang dinafikan oleh Al-Quran adalah syafaat yang mengandung syirik. Oleh karena itu, al-Quran menetapkan syafaat dengan izinNya di beberapa tempat. Dan nabi SAW telah menjelaskan bahwa syafaat tidak diberikan kecuali bagi orang yang bertauhid dan ikhlas. (Karimi dan Nuryaman,2014:480).


    1. Seseorang tidak dapat langsung diberi syafaat kecuali orang yang di ridhai Allah
   
“Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dengan yang dibelakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang di ridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadanya”. (Q.S Al-Anbiya:28).
    
“Dan tiadalah berguna syafaat disisi Allah melainkan bagi orang yang telah di izinkan-Nya memperoleh hingga apabila telah syafaat itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata “apakah yang telah difirmankan oleh tuhanmu ? mereka menjawab:”(perkataan) yang benar, “dan  Dia-lah yang maha tinggi lagi maha besar”. (Q.S Saba:23).


    1. Syarat-syarat Syafaat

Tiada yang dapat memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah”. (Q.S Al-Anbiya : 28). (Al-Khudhairiy, 2002:52).
Menurut Karimi dan Nuryaman, (2014:468) Dalam Qurrah al-Uyun syafaat terbagi menjadi dua,
  1. Syafaat yang dinafikan didalam Al-Quran, yaitu syafaat untuk orang kafir dan musyrik. Allah berfirman,
                       
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-Baqoroh : 254).
Syafa'at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.
Allah berfirman,
     
”maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (Q.S Al-Mudatsir : 48).
Allah berfirman:
                    
“dan jagalah dirimu dari (azab) Hari kiamat, yang pada hari ituseseorang tidak dapat membela orang lain sedikitpun dan (begitupula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya dan tidaklah mereka akan ditolong.” (Q.S Al-Baqoroh : 48).
Allah, berfirman,
                              
dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami disisi Allah.’katakanlah, ‘apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya baik dilangit dan tidak (pula) dibumi?” (Q.S Yunus : 18).
Dan ayat-ayat lainnya yang semakna dengannya. Allah SWT mengabarkan bahwa siapa yang mengangkat  orang-orang itu sebagai pemberi syafaat di sisi Allah, tidak mengetahui bahwa mereka memberi syafaat kepadanya, dan apa yang tidak dia ketahui berarti tidak ada wujudnya. Maka Allah mnafikan keberadaan syafaat tersebut dan menyatakan bahwa ia adalah syirik, yaitu dengan firmannya,
                             
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata),’ kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Az-Zumar : 3).
Allah membatalkan syafaat orang yang mengangkat pemberi syafaat dengan anggapan bahwa dia mendekatkan kepada Allah, padahal sebenarnya ia malah menjauhkannya dari Allah, padahal sebenarnya ia malah menjauhkannya dari Allah, dari rahmat dan ampunannya, karena dia menjadiakan sekutu bagi Allah, kepadanya dia berharap, bergantung, bertawekal, dan mencintainya seperti mencintai Allah SWT bahkan lebih dari itu.
  1. Syafaat yang ditetapkan oleh Al-Quran, ia khusus untuk ahli tauhid. Allah Ta’ala membatasinya dengan dua syarat.
Syarat pertama, adanya izin dari Allah kepada pemberi syafaat untuk memberi syafaat sebagaiman Allah SWT berfirman,
      
“tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izinnya.” (Q.S Al-Baqarah : 255).
Dan izinnya Allah tidak keluar kecuali jika dia merahmati hambanya yang bertauhid namun melakukan dosa, jika Allah menyayanginya maka dia mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.
Sayarat kedua, ridhaNya kepada penerima syafaat, sebagaiman Allah Ta’ala berfirman,
    
“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang di ridhai Allah.”  (Q.S Al-Anbiya : 28).
Izin untuk memberi Syafaat ini terwujudnya Allah meridhai, sebagaimana didalam ayat ini. Dan Allah SWT tidak meridhai selain Ahli Tauhid.”


  1. Menurut Al-Hadits
  1. Orang Musyrik tidak akan mendapatkan syafaat dari nabi
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَل اللّه عَنْهُ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لكل نبيى دعوة مستجابة فتعجل كل نبي دعوته وانى اختبأت دعوتىشفاعة لأمتى يوم القيامة, فهي نا ئلة ان شاء الله من مات لايشرك بالله شيئا (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah r.a berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Setiap nabi mempunyai permohonan yang pasti dikabulkan, maka permohonan setiap nabi itu akan disegerakan sedangkan aku menyimpan permohonanku itu sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat, maka syafaat itu akan diraih jika Allah menghendakinya oleh orang yang mati dengan tidak menyekutukan Allah sedikitpun.” (H.R Muslim).
  1. Orang yang dipastikan akan mendapatkan syafaat;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَل اللّه عَنْهُ قال: قيل يا رسولله من أسعد الناس بشفاعتك يوم القيامة ؟ قال رسولله عليه وسلم لقد ظننت باأباهريرة أنلا يسألنى عن هذاالحديث أحداول منك, لما رايت من حرصك على الحديث, اسعدالناس بشفاعتى يوم القيامة من قال, لااله الاالله خالصا من قلبه أو نفسه (رواه البخارى)
“Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya ia berkata; Wahai Rasulullah, sapakah manusia yang paling beruntung dengan syafaatmu pada hari kiamat ? Rasulullah Saw bersada: “sungguh aku telah mengira wahai Abu Hurairah bahwa tidak aka nada yang bertanya kepadaku tentang hadits ini seorangpun yng paling pertama selain  kamu, karena aku melihat kesungguhanmu terhadap hadits. Orang yang paling beruntung dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengatakan tidak ada tuhan selain Allah, (ucapan itu keluar) dengan bersih (tulus) dari hatinya atau dirinya.” (H.R Bukhari).
فَتِلْكَ الشَّفَاعَةُ لِأَهْلِ الْاِخْلاَصِ بِاِذْنِ اللهِ وَلاَ تَكُنْ لِمَنْ اَشْرَكَ بِاللهِ (فتح المجيد:209)
Maka syafaat itu untuk orang-orang yang ikhlas dengan izin Allah dan tidak untuk orang-orang yang musyrik kepada Allah.” (Fathul Majid:209).
وَرَوَاهُ أَحْمَدُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَانَ, وَفِيْهِ: وَشَفَاعَتِى لِمَنْ قَالَ, لاَإِلَهَ إِلاَاللهِ مُخْلِصًا يُصَدِّقَ قَلْبُهُ لِسَانَهُ وَلِسَانَهُ قَلْبُهُ (فتح المجيد)
“Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits itu, dan telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban. Dalam hadits itu dinyatakan: syafaatku itu bagi orang yang mengatakan; Tidak ada tuhan selain Allah (mengucapkan) dengan ikhlas, hatinya membenarkan lisannya dan lisannya membenarkan hatinya.” (Fathul Majid:209).
  1. Orang yang berdoa setelah adazan akan mendapatkan syafaat Nabi.
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ للهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمِ قَالَ: مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ, اَللَّهُمَ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِالتَّامَّةِ وَالصَّلَاةِاْلقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدٍاْلوَسِيْلَةَ وَاْلفَضِيْلَةَ وَاْبعَثْهُ مِقَامَامَّحْمُوْدًا اَلَّذِى وَعَدْتَهُ, حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ (رواه البخارى)
“Dari jabir r.a sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “siapa yang berdoa setelah mendengar seruan azan; “Ya Allah, Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna ini dan shalat yang ditegakan, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji yang telah engkau janjikan kepadanya”, ia pasti mendapatkan syafaatku pada hari kiamat”. (H.R Jama’ah). (Zakaria, 2005;162).
  1. Al-Quran Pemberi Syafaat
إِقْرَؤُاوااْلُقُرْانِ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ شَفيِعًالِاَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Quran! Sesungguhnya ia akan dating pada hari kiamat untuk memberikan Syafaat (pertolongan) kepada pembacanya.” (H.R Muslim). (Yayasan Bina’ Muwahidin:TT).
BAB III
ANALISIS
  1. Definisi Syafa’at
Layaknya kehidupan sebagai manusia yang tak akan terlepas dari membutuhkan pertolongan kepada yang lain, seperti seorang yang memiliki kelebihan dalam materinya akan lebih membutuhkan orang lain untuk membantu dan menjaga kekayaannya. Dalam pandangan Islam meminta pertolongan dan bantuan kepada orang lain yang masih hidup agar dirinya mendapat kemudahan dari Allah atas beban yang sedang ia tanggung adalah diperbolehkan hal ini disebut  dengan tawasul. Sedangkan pertolongan yang Allah berikan kepada hambanya atas dasar keridhaan-Nya karena telah mau mengikuti setiap ajaran yang diturunkan kepadanya disebut dengan syafa’at. Hassan (1995:29) memberi pengertian mengenai syafa’at yaitu pertolongan Allah yang akan di berikan kepada orang yang di ridhainya, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya: 28,
              


“Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya”. (Q.S Al-Anbiya : 28).
Dalam syafa’at, ada dua ketentuan, yaitu, ada pemberi syafa’at, dan penerima syafa’at, pemberi syafa’at adalah Allah SWT, dan penerima syafa’at adalah manusia. Namun bagi manusia tidaklah begitu mudah untuk menerima syafa’at tersebut akan tetapi syafa’at itu harus di pinta terlebih dahulu kepada pemiliknya, melalui perantara yaitu berdo’a, Allah menegaskan dalam Al-Quran:
                
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (Q.S Al-Baqarah : 186).


Do’a merupakan salah satu wasilah bagi seorang hamba untuk mendapatkan syafa’at-Nya, tentunya dengan doa yang tulus dan ikhlas, karena Allah menjanjikan kepada orang yang ikhlas dan bertauhid akan dilimpahi karunianya, seperti dalam sebuah periwayatan disebutkan:
أن الله سبحانه هوالذي يتفظل على اهل الاخلاص, فيغفر لهم بواسطة دعاء من أذن له ان يشع
“sesungguhnya Allah SWT melimpahkankaruniaNya kepada orang yang ikhlas (ahlitauhid), dimana mengampuni mereka melalui perantara doa yang dia izinkan untuk memberi syafa’at.”
Allah juga menyebutkan bahwasannya tidak akan ada yang dapat memberi syafa’at  kecuali atas izin-Nya, Allah telah mengizinkan Nabi Muhammad SAW untuk memberi syafa’at kepada ummatnya, namun tidak hanya nabi Muhammad saja yang telah di izinkan oleh Allah, tetapi setiap nabi pun telah di izinkan namun mereka telah memberikannya kepada orang-orang pilihan mereka, seperti dalam sebuah hadits dikatakan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَل اللّه عَنْهُ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لكل نبيى دعوة مستجابة فتعجل كل نبي دعوته وانى اختبأت دعوتىشفاعة لأمتى يوم القيامة, فهي نا ئلة ان شاء الله من مات لايشرك بالله شيئا (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah r.a berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Setiap nabi mempunyai permohonan yang pasti dikabulkan, maka permohonan setiap nabi itu akan disegerakan sedangkan aku menyimpan permohonanku itu sebagai syafa’at bagi umatku pada hari kiamat, maka syafa’at itu akan diraih jika Allah menghendakinya oleh orang yang mati dengan tidak menyekutukan Allah sedikitpun.” (H.R Muslim).
Allah juga telah mengizinkan orang shaleh untuk memberikan syafa’at kepada orang yang memintanya, dalam artian orang shaleh tersebut hanya menjadi washilah, tiada lain hanya untuk mendoakannya, contoh “wahai pulan (orang shaleh) tolong doakan aku supaya aku di berikan syafa’at oleh Allah”. Dan Allah memperbolehkan permintaan syafa’at dengan cara seperti itu..karena orang shaleh juga merupakan wali Allah.
Berbagai cara telah ditunjukan oleh Rasul dalam mendapatkan syafa’at, beberapa diantaranya adalah dengan membaca salawat kepada Rasul saat setelah mendengar dan menjawab panggilan adzan. Ia berkata bahwa bagi umatnya yang mendengar seruan adzan kemudian menjawab adzan tersebut maka Allah akan memberikan syafa’at baginya kelak diakhirat. Kemudian dengan membaca Al-Qur’an, yang mana dia akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at disaat setiap amalan dipertanyakan atas apa yang mereka perbuat dibumi. Disaat timbangan seorang hamba memiliki kesamaan antara kebaikan dan keburukannya, maka syafa’at akan membantunya untuk memberatkan dalam amal kebaikan sehingga diselamatkanlah ia dari jilatan api neraka, saat amalan seorang hamba memiliki perbedaan dalam beratnya yang menitik beratkan pada amalan keburukan maka peranan syafa’at sebagai penyeimbang maka terselamatkalah atau menjadi pengurang dari balasan dosa-dosanya dibumi.
  1. Permasalahan Dalam Syafa’at
Ada Banyak orang yang menginginkan pertolongan Allah di hari kiamat nanti, tetapi mereka memperolehnya dengan jalan yang tidak sesuai ajaran al-quran dan assunnah. Banyaknya penyelewengan dalam hal meminta pertolongan tersebut, adalah kebodohan yang membuat mereka buta akan ajaran islam yang telah menunjukan jalan yang benar, jalan yang ada dalam ridha Allah SWT. Contoh: Pada asalnya ziarah kubur itu boleh dengan tujuan untuk mengingat kematian, namun ziarah kubur menjadi tidak boleh, jika sudah menyimpang dari tujuan yang sebenarnya seperti orang yang berziarah kubur dengan tujuan untuk meminta syafa’at kepada orang yang sudah mati dengan cara mendatangi kuburannya. Hal ini bertentangan dengan makna syafa’at itu sendiri.
Hal demikian biasa terjadi karena kebodohan ummat jahiliyyah dulu adalah faktornya. Dengan kebiasaan-kebiasaan bodoh mereka, mereka menyembah tuhan semaunya, mereka menyembah patung, mereka menyembah berhala, mereka menyembah matahari, mereka menyembah bintang, bahkan roti pun mereka sembah, dan hal-hal lainnya yang tidak jelas manfaatnya. Mereka beribadah kepada sesembahan mereka, mereka meminta-minta (berdo’a) kepada sembahan mereka yang mana mereka beranggapan bahwasannya apa yang mereka pinta kepadanya akan dikabulkan.
Hakekatnya syafaat hanyalah milik Allah. Allah Ta’ala berfirman :
    
“Katakanlah: Hanya kepunyaan Allah lah syafaat itu semuannya. Milik-Nya lah kerajaan langit dan bumi. Kemudiaan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Az Zumar: 44).
Dalam ayat di atas, dengan jelas Allah menyebutkan bahwa seluruh syafaat hanyalah milik-Nya semata. Allah kemudian memberikan kepada sebagian hamba-Nya untuk memberikan syafaat kepada sebagian hamba yang lainnya dengan tujuan untuk memuliakan dan menampakkan kedudukan pemberi syafaat dibanding yang disyafaati serta memberikan keutamaan dan karunia-Nya kepada yang disyafaati untuk bisa mendapatkan kenikmatan yang lebih baik atau kebebasan dari adzab-Nya.
Orang yang memberi syafaat dan orang yang diberi syafaat itupun bukan sembarang orang. Syafaat hanya terjadi jika ada izin Allah kepada orang yang memberi syafaat untuk memberi syafaat dan ridha Allah kepada pemberi syafaat dan yang disyafaati. Allah berfirman (artinya), “Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al Anbiya: 28).
Setelah kita mengetahui bahwa syafaat adalah milik Allah semata, maka kita hanya boleh meminta kepada Allah. Diperbolehkan meminta kepada Allah agar para pemberi syafaat diizinkan untuk memberikan syafaat di akhirat nanti. Seperti mengatakan “Ya Allah, jadikanlah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pemberi syafa’at bagiku. Dan janganlah engkau cegah diriku dari mendapatkan syafaatnya”, atau perkataan yang semisalnya.
Setelah kita memahami hakekat syafaat, hendaknya kita meminta syafaat hanya kepada Allah. Karena hanya Allahlah yang memiliki syafaat. Barangsiapa yang meminta syafaaat kepada selain Allah, pada hakekatnya dia telah berdoa kepada selain Allah. Ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan, meskipun dia meminta kepada Nabi SAW. Dengan demikian, salah ketika orang yang meminta syafaat mengatakan: “Wahai Nabi, berilah aku syafaat”, atau “ Wahai Nabi, syafaatilah aku”, dan yang semisalnya.
Syafaat hanya milik Allah. Dan Nabi tidak bisa memberikan syafaat tanpa ridho dan izin dari-Nya. Sehingga, tidak boleh meminta syafaat kepada makhluk, termasuk kepada Nabi sekalipun. Mengapa? Karena meminta syafaat adalah termasuk doa. Seseorang yang meminta syafaat kepada selain Allah berarti dia telah berdoa kepada selain Allah. Doa adalah ibadah yang harus ditujukan kepada Allah dan tidak boleh ditujukan kepada selain-Nya. Barang siapa yang beribadah kepada selain Allah dia telah melakukan syirik akbar. Demikian pula bagi orang yang meminta syafaat kepada selain Allah dia telah berbuat syirik akbar. Jangan sampai kita terjebak untuk meminta syafaat langsung kepada selain Allah, termasuk kepada Nabi SAW. Hal ini bukan berarti kita mengingkari adanya syafaat beliau. Tetapi syafaat itu hanyalah milik Allah. Bagaimana Allah hendak memberikan syafaat-Nya kepada seseorang sementara dia berbuat syirik dengan meminta syafaat kepada Nabi? Pantaskah bagi kita tatkala Allah telah menetapkan bahwa syafaat hanya milik-Nya, kemudian kita justru meminta kepada Nabi?.
Syafaat hanya akan Allah berikan kepada orang-orang yang diridhai-Nya. Yaitu merekalah ahli tauhid, yang menyembah hanya kepada Allah semata dan tidak melakukan kesyirikan sedikitpun. Orang-orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan mengamalkan konsekuensi dari yang dia ucapkan. Merekalah yang berbahagia dengan pemberian syafaat dari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang paling berbahagia dengan (mendapatkan) syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan (kalimat) Laa ilaaha illallahu (tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah) dengan ikhlas dari hati atau jiwanya.“ (HR Bukhari).
Pemahaman yang benar tentang syafaat akan memotivasi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk semakin rajin beribadah dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya, juga akan menambah kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berusaha meneladani sunnah beliau. Dengan memahami masalah ini, juga akan menumbuhsuburkan dalam diri orang yang beriman kecintaan kepada Allah. Dia akan semakin mengetahui betapa agung kasih sayang dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertauhid, tatkala Allah senantiasa memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk pengampunan dosa-dosa mereka, agar mereka meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mendapat syafaat dari Allah di akhirat kelak.
  1. Hubungan Syfaat dengan Iman
Syafaat di hari akhirat adalah salah satu keyakinan yang harus diimani oleh setiap mukmin. Allah Ta’ala akan memberikan syafaat melalui hamba-hamba pilihan-Nya. Di antara syafaat yang terbesar adalah syafaat yang diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bagi orang yang mencintai Nabi, syafaat beliau adalah harapan yang sangat dinanti. Namun, banyak orang keliru dalam memahami syafaat, bahkan sebagiannya terjerumus dalam praktek kemusyrikan karena tidak memahami masalah ini dengan benar. Syafaat hanya dimohonkan bagi mereka yang mengimani akan kebenaran dan kerasulan Muhammad sebab salah satu jalan untuk  mendapatkan syafaat yang Allah berikan adalah melewati dirinya. Maka suatu kewajiban bagi kita semua untuk mengimani kebenaran Muhammad yang membukakan pintu syafaat bagi  umatnya dan merealisasikan akan keimanan yang kita miliki dengan mengikuti pola hidup beliau atas atsar dan jejak-jejak yang beliau tinggalkan sebagai suatu jalan keselamatan.
Iman memiliki pengertian membenarkan, membenarkan atas apa yang Allah tetapkan dalam Kitabnya yang suci, membenarkan atas apa-apa yang Allah janjikan bagi seorang yang beramal baik ataupun buruk beserta ganjaran yang Ia berikan, juga membenarkan atas setiap ketetapan yang Allah tuliskan dan wahyukan kepada Utusannya yang mulia melalui Hadist-hadist shahihnya.
Syafaat tidak akan muncul pada diri seseorang saat diri orang tersebut menolak akan kebenaran Muhammad, syafaat pula tidak akan didapatkan saat keimanan yang kita miliki masih jauh dari kesempurnaan dan perbuatan yang baisa kita  laukan masih jauh dari petunjuk Rasul. Untuk itu, keterkaitan antara syafaat dan Keimanan sangat erat hubungannya, yang berkesimpulan bahwa Syafaat yang diberikan oleh Allah diberikan kepada hamba-Nya yang dirhidhai, untuk mencari  ridha Allah tersebut maka kebutuhan dasar yang mesti dimiliki setiap muslim adalah Keimanan.  


Tidak ada komentar: